30 Desember 2011

Seputar Cerita Fiksi

Pertanyaan, “Apa hukum cerita fiksi islami?”
Jawaban Syaikh Dr Muhammad Bazmul,
“Yang tepat kisah fiksi itu diperankan oleh tokoh-tokoh fiktif dalam rangkaian peristiwa yang juga fiktif hukumnya boleh jika penulis cerita fiksi bermaksud untuk menyampaikan dan memahamkan kepada pembaca pesan-pesan yang sejalan dengan syariat.

Namun yang terbaik bagi orang yang Allah beri bakat untuk menulis kisah adalah mencukupkan diri dengan kisah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah Nabi. Itulah sebaik-baik kisah dan nilai-nilai yang yang ada di dalamnya juga disampaikan dengan demikian sempurna tanpa ada hal terlarang di dalamnya”.

Pertanyaan, “Apakah di dalam Islam diperbolehkan menulis buku cerita fiksi atau cerita fiksi dinilai sebagai bagian dari dusta?”

Jawaban, “Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.

Para ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.

Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.

Di sisi lain para ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah nyata dengan tujuan memperindah kisah.

Akan tetapi ulama muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab hanafi dari generasi belakangan semisal Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik. Ibnu Abidin mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang untuk memastikan hal ini”.

Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.

Atau dengan tujuan sekedar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar sebagaimana al maqamat karya al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satupun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi yang tidak ada di alam nyata”.
Syeikh Ibnu Jibrin rahimahullah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pendapat Anda tentang teks bacaan yang ada dalam buku pelajaran ta’bir yang biasanya berupa cerita rekaan yang tidak pernah terjadi secara real di alam nyata?”

Jawaban Syeikh Ibnu Jibrin, “Jika para hadirin (baca:murid) yang ada di kelas seluruhnya paham bahwa kisah tersebut semata-mata cerita fiksi yang dibuat oleh penulis atau guru yang mengisahkan cerita tersebut dengan tujuan menarik konsentrasi dan perhatian para murid atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa.

Alasannya adalah karena para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis.
Akan tetapi yang lebih baik adalah mencari kisah-kisah nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan pesan dan pelajaran yang terkandung di balik kisah tersebut”.
Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=8493&parent=4160
Pertanyaan:
Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Oleh:
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
... Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.
(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – Pages 644-645, al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)
http://rismaka.wordpress.com/2009/03/04/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/
 sumber: http://ustadzaris.com