13 Januari 2011

Barometer Akhlak Mulia


Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, MA
Alhamdulillahi wahdah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah…
Hasil gambar untuk akhlak
Prolog
Masya Allah, akhlak pak anu bagus banget lho!” kata seorang bapak-bapak ‘mempromosikan’ rekan kerjanya.
” Buktinya apa pak?” tanya lawan bicaranya.
“Kalau di kantor ia ramah banget, apalagi kalo sedang berhadapan dengan bosnya!” jawabnya.
Wuih, bu anu akhlaknya baik banget!” komentar seorang ibu-ibu tatkala membicarakan salah satu tetangganya.
“Darimana ibu tau?” tanya temannya.
“Itu lho jeng, kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!” sahutnya.
Begitulah kira-kira cara kebanyakan kita menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang. Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli. Sebab sangat memungkinkan sekali seseorang itu memiliki dua akhlak yang diterapkannya pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak demikian di tempat yang lain. Itu tergantung kepentingannya.
Lantas, bagaimanakah Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang itu? Tulisan berikut berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut.


Islam Agama Akhlak
Di antara tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam, selain untuk menegakkan Tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dengan gamblang dalam sabda beliau,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. [HR. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Sedemikian besar perhatiannya terhadap perealisasian akhlak, Islam tidak hanya menjelaskan hal ini secara global, namun juga menerangkannya secara terperinci. Bagaimanakah akhlak seorang muslim kepada Rabbnya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun!
Di antara hal yang tidak terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan kata lain: sisi apakah yang bisa dijadikan jaminan bahwa seseorang itu akan berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak mulia pada sisi yang satu itu?

Barometer Akhlak Mulia
Panutan kita Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan permasalahan di atas dalam sabdanya,
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku”. [HR. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan al-Albani menilai hadits tersebut sahih].
Hadits di atas terdiri dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua, tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut.
Dalam kaitan dengan hal di atas, penulis berusaha sedikit mengupas dua bagian tersebut di atas semampunya:

Pertama: Mengapa berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak, dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?

Sekurang-kurangnya, wallahua’lam, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut[1]:
Hasil gambar untuk santuna. Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara dengan berakhlak mulia di tempat kerjanya –yang itu hanya memakan waktu beberapa jam saja- belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya di rumahnya sendiri. Dikarenakan faktor panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk ‘bersandiwara’. Justru yang terjadi, saat-saat itulah terlihat akhlak aslinya.
Ketika bersandiwara, bisa saja dia membuat mukanya manis, tutur katanya lembut dan suaranya halus. Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan akhlak palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.
Kebalikannya, seseorang yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan mempraktekkannya di manapun berada.


b. Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat; karena menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya sedikit-banyaknya berimbas pula pada sikapnya di dua alam yang berbeda itu.
Ketika di kantor, ia musti menjaga ‘rapor’nya di mata atasan. Hal mana yang membuatnya harus berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk itu ia harus memoles akhlaknya untuk sementara waktu. Itu tidaklah masalah. Yang penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut melonjak.
Adapun di rumah, di saat posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.

Demikianlah itulah kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu bagaimanakah halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus berusaha merealisasikannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha melihat dan Maha mengetahui.

Kedua: Beberapa potret kemuliaan akhlak Nabi shallallahu’alaiwasallam terhadap keluarganya.

Sebagai teladan umat, amatlah wajar jika praktek keseharian Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa contoh saja. Hal itu hanya sekadar untuk memberikan gambaran akan permasalahan ini.

A. Turut membantu urusan ‘belakang’.
Secara hukum asal, urusan dapur dan tetek bengeknya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Dan ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki.
عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember”. [HR. Ibnu Hibban].
Subhanallah! Di tengah kesibukannya yang luar biasa padat mengurusi umat, beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah oleh banyak suami di zaman ini! Andaikan saja para suami-suami itu mau mempraktekkan hal-hal tersebut, insyaAllah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.

B. Berpenampilan prima di hadapan istri dan keluarga.
Berikut Aisyah, salah seorang istri Rasul shallallahu’alahiwasallam menyampaikan pengamatannya;
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ”
“Adalah Nabi shallallahu’alahiwasallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak”. [HR. Muslim].
Bersiwak ketika pertama kali masuk rumah??! Suatu hal yang mungkin tidak pernah terbetik di benak kita. Tetapi, begitulah cara Nabi kita shallallahu’alahiwasallam menjaga penampilannya di hadapan istri dan putra beliau. Ini hanya salah satunya lho! Dan beginilah salah satu potret kemuliaan akhlak Rasulullah kepada keluarganya.

C. Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”
“Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri”. [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albani].
Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, justru sangatlah berbahaya. Agar mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya.

Epilog
Semoga tulisan sederhana ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri –terutama bagi mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: da’i, guru, ustadz dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian, berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi Qudwah luar maupun dalam. Wallahu a’la wa a’lam.


Kedungwuluh Purbalingga, 7 Rabi’ul Awal 1431
[1] Disarikan dari kitab al-Mau’izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79).
Artikel: serambimadinah.com
copas dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/01/10/barometer-akhlak-mulia-ustadz-abdullah-zaen-ma/#more-5769

Wanita Bisu, Tuli, Buta dan Lumpuh Itu Adalah Ibunda Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan haus yang mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.
Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, “Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya”.
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”.
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orangtua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.”
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?” Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !”
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”. Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka.

Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum?.”
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.


Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya?Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.

Artikel: abuthalhah.wordpress.com dipublikasi ulang oleh moslemsunnah.wordpress.com

copas dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/12/22/wanita-bisu-tuli-buta-dan-lumpuh-itu-adalah-ibunda-al-imam-abu-hanifah-an-nu%E2%80%99man-bin-tsabit/

06 Januari 2011

Dampak Dosa Pada Jiwa Raga


Setiap orang tentu tak luput dari melakukan dosa dan kesalahan. Yang membedakan, di antara manusia ada yang terus menerus melakukan dosa tanpa mau bertobat, sementara sebagian yang lain segera menyadari kesalahannya dan bertobat kepada Allah –ta’ala–.
Sesungguhnya, dosa baik besar maupun kecil, bila dilakukan secara terus menerus, akan berdampak sangat buruk bagi jiwa dan raga pelakunya. Tak jarang dosa itu juga menimbulkan bencana yang juga mengenai orang-orang di sekitarnya.
IBARAT RACUN DALAM TUBUH
Di antara bencana yang banyak menimpa kaum muslimin pada zaman ini adalah kemaksiatan dan dosa merajalela, serta menyebarnya kemungkaran dengan berbagai tingkatannya.
Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata, “Kemaksiatan ini memiliki bahaya yang sangat besar bagi hati, sama seperti bahaya racun-racun terhadap tubuh, dalam tingkat bahaya yang berbeda-beda. Dan tidaklah di dunia ini muncul suatu kejahatan dan penyakit, kecuali disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa.”
Begitulah dampak dosa bagi pelakunya. Orang yang sekali melakukan dosa dia enggan bertobat, maka ia akan tergoda untuk melakukan yang kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Lalu dosa-dosanya itu akan semakin bertumpuk-tumpuk sehingga mengalahkan amal baiknya. Ibarat racun dalam tubuh, dosanya akan menggerogoti kesehatannya dari ke hari, sehingga tubuhnya kian lemah dan penuh penyakit.
Contoh konkrit kalau dosa itu bisa menimbulkan penyakit, adalah AIDS. Penyakit ini begitu cepat menular karena kemaksiatan (khususnya free seks dan homoseks) telah banyak dilakukan di mana-mana.
Dosa dan kemaksiatan juga bisa menimbulkan rasa was-was, jantung berdebar, darah tinggi serta stress bagi pelakunya.
Di dunia ini, banyak para pendosa yang mengaku atau terkenal sebagai orang hebat, namun sejatinya jiwanya merasa kering dan tertekan. Ia merasa terasing dari Rabb-nya. Meskipun memiliki semua fasilitas kenikmatan dunia, keterasingan itu akan tetap ia rasakan.
Sebagai contoh, lihatlah Hittler. Pemimpin Jerman yang perfeksionis dan kejam ini memilih mati dengan cara bunuh diri.


MENGHITAMKAN WAJAH DAN MENUTUP HATI

Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu memancarkan cahaya pada wajah seseorang, dan cahaya di dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada badan, kecintaan di tengah makhluk. Dan keburukan akan mengakibatkan kehitaman pada wajah, kegelapan dalam hati, kelemahan badan dan kekurangan rezeki, serta kebencian di dalam hati para makhluk Allah.”
Perkataan Ibnu Abbas ini dipertegas oleh firman Allah –ta’ala–,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia,’Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’” (Thaha: 124-126)
Contoh dosa yang bisa menghitamkan wajah adalah meninggalkan shalat. Sebaliknya, rajin membasuh wajah dengan air wudhu serta melaksanakan shalat wajib maupun sunnah, bisa membuat wajah cerah dan berseri-seri. Ini terjadi karena ketaatan kepada Allah itu cahaya, sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan itu, semakin bertambah bingung orang yang meninggalkan shalat itu, hingga dia terjatuh dalam kesesatan-kesesatan tanpa dia sadari.
Seperti orang buta yang keluar sendirian di kegelapan malam. Kegelapan itu akan bertambah kuat hingga tampak pada mata, lalu meluas meliputi wajah sehingga wajah itu berubah hitam dan dapat dilihat oleh siapa saja. Pada saat itulah timbul jarak antara dia dan manusia, terutama orang-orang saleh.Semakin besar jarak itu, semakin jauh dia dari mereka, dan dia pun tidak bisa mendapatkan berkah kemanfaatan dari mereka. Lalu dia menjadi dekat dengan para tentara setan seiring dengan jauhnya dia dari tentara Allah yang Maha Penyayang.
Dan kondisi itu berakhir hingga di akhirat, saat dia akan merasakan balasan yang buruk, dan berkumpul dengan orang-orang yang celaka, yaitu pada hari mereka diajukan ke hadapan Allah yang Maha Perkasa.
“Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi.” (al-Mujaadilah: 19)

PENYEBAB BENCANA

Sesungguhnya dosa-dosa dan kemaksiatan itu akan mendatangkan kesengsaraan di dunia dan akhirat.
Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata, “Sebab apakah yang mengeluarkan bapak manusia dari surga, tempat kelezatan, kenikmatan, kemegahan dan kesenangan, menuju alam yang penuh penyakit, kesedihan dan musibah?
Apakah yang mengeluarkan Iblis dari alam langit, diusir dan dilaknat, rahmat berubah menjadi laknat, serta keimanan berubah menjadi kekafiran? Lalu sebab apakah yang menenggelamkan seluruh penghuni bumi sehingga air melampaui puncak gunung-gunung? Dan sebab apakah yang menjadikan angin menguasai kaum ‘Ad sehingga mereka bergelimpangan mati di permukaan bumi, lalu mereka seperti pohon kurma yang tumbang? Sebab apakah yang menyebabkan terjadinya siksa yang menyebabkan hati-hati mereka terputus dari tenggorokan-tenggorokan mereka, sehingga hati dan tenggorokan mereka berserakan dan mereka tewas?
Sebab apakah yang menyebabkan Fir’aun tenggelam bersama kaumnya lalu ruh-ruh mereka kembali berpindah ke neraka Jahannam? Tubuh mereka tenggelam, sementara ruh-ruh mereka terbakar. Sebab apakah yang mengubur Qarun dan rumahnya beserta seluruh hartanya? Sungguh, semuanya disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa!”
Realita saat ini, di mana-mana banyak terjadi bencana. Jika kita mau berkaca, niscaya kita pun akan menyadari, datangnya bencana-bencana itu akibat perilaku sebagian besar manusia yang melenceng jauh dari jalan lurus. Bahkan seringkali maksiat sudah dilakukan secara terang-terangan, tanpa rasa malu lagi.
Allah –ta’ala– berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)
Sementara Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara? Kalau aku (Rasulullah Saw), aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya. (1) Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. (2) Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. (3) Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan dan kezhaliman penguasa. (4) Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yang bukan dari Allah maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. (5) Jika mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan sunah Nabi maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Untuk menyelamatkan diri dari adzab Allah –ta’ala–, tiada jalan lain bagi kita kecuali dengan bertobat dari dosa-dosa yang kita lakukan. Allah –ta’ala– sangat menyukai hamba-Nya yang bertobat setelah melakukan kesalahan.

Dari Anas bin Malik –rodhiyallohu ‘anhu–, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda bahwa Allah –ta’ala– berfirman,
“Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (Riwayat Tirmidzi, ia berkata, ”Hadits ini hasan shahih.”)
Kiranya hadits ini bisa memotivasi kita untuk bersegera memperoleh ampunan dan rahmat-Nya. Wallaahu a’lam. (***)
Banyak diilhami dari kitab al Jawaabul Kaafi li Man Sa ala ‘An ad-Dawa’ asy Syafi’ Ibnul Qayyim –rohimahulloh–.
Artikel: Majalahsakinah.com publikasi ulang Moslemsunnah.Wordpress.com

http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/01/02/dampak-dosa-pada-jiwa-raga/