30 Desember 2011

Seputar Cerita Fiksi

Pertanyaan, “Apa hukum cerita fiksi islami?”
Jawaban Syaikh Dr Muhammad Bazmul,
“Yang tepat kisah fiksi itu diperankan oleh tokoh-tokoh fiktif dalam rangkaian peristiwa yang juga fiktif hukumnya boleh jika penulis cerita fiksi bermaksud untuk menyampaikan dan memahamkan kepada pembaca pesan-pesan yang sejalan dengan syariat.

Namun yang terbaik bagi orang yang Allah beri bakat untuk menulis kisah adalah mencukupkan diri dengan kisah yang terdapat dalam al Qur’an dan sunnah Nabi. Itulah sebaik-baik kisah dan nilai-nilai yang yang ada di dalamnya juga disampaikan dengan demikian sempurna tanpa ada hal terlarang di dalamnya”.

Pertanyaan, “Apakah di dalam Islam diperbolehkan menulis buku cerita fiksi atau cerita fiksi dinilai sebagai bagian dari dusta?”

Jawaban, “Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.

Para ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.

Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii.

Di sisi lain para ulama bermazhab Hanafi berpendapat makruhnya kisah yang isinya adalah hal-hal yang tidak berdasar berupa kisah-kisah tentang kehidupan masa lalu atau memberi tambahan atau pengurangan pada kisah nyata dengan tujuan memperindah kisah.

Akan tetapi ulama muhaqqiq (pengkaji) yang bermazhab hanafi dari generasi belakangan semisal Ibnu Abidin tidak menegaskan makruhnya hal tersebut jika orang yang melakukan memiliki niat yang baik. Ibnu Abidin mengatakan, “Mungkinkah kita katakan bahwa hukum hal tersebut adalah mubah jika maksud dari membawakan kisah tersebut untuk membuat permisalan dengan tujuan memperjelas maksud atau niat baik semisalnya? Perlu telaah ulang untuk memastikan hal ini”.

Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:
a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.
b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.

Atau dengan tujuan sekedar membuat permisalan dalam proses belajar mengajar sebagaimana al maqamat karya al Hariri. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satupun ulama di masa silam yang mengingkari al maqamat tersebut padahal mereka mengetahui adanya buku fiksi tersebut dan mereka mengetahui bahwa hakikat buku tersebut adalah kisah-kisah fiksi yang tidak ada di alam nyata”.
Syeikh Ibnu Jibrin rahimahullah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pendapat Anda tentang teks bacaan yang ada dalam buku pelajaran ta’bir yang biasanya berupa cerita rekaan yang tidak pernah terjadi secara real di alam nyata?”

Jawaban Syeikh Ibnu Jibrin, “Jika para hadirin (baca:murid) yang ada di kelas seluruhnya paham bahwa kisah tersebut semata-mata cerita fiksi yang dibuat oleh penulis atau guru yang mengisahkan cerita tersebut dengan tujuan menarik konsentrasi dan perhatian para murid atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa.

Alasannya adalah karena para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis.
Akan tetapi yang lebih baik adalah mencari kisah-kisah nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan pesan dan pelajaran yang terkandung di balik kisah tersebut”.
Sumber: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=8493&parent=4160
Pertanyaan:
Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Oleh:
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
... Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.
(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – Pages 644-645, al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)
http://rismaka.wordpress.com/2009/03/04/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/
 sumber: http://ustadzaris.com

02 Juli 2011

Bersentuhan Kulit Antara Suami Istri, Apakah Membatalkan Wudhu?



Tanya:
“Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah bersentuhan kulit antara suami istri dapat membatalkan wudhu? Kalau boleh ana minta jawaban menurut 4 imam madzhab”.
Abdullah 08564044xxxx

Jawab:
Wa’alaikumus salam
Jika terjadi sentuhan langsung antara laki-laki dan perempuan apakah membatalkan wudhu ataukah tidak ada tiga pendapat ulama.
Pendapat pertama, wudhu itu batal baik sentuhan tersebut diiringi dengan syahwat ataukah tidak.
Ibnu Katsir mengatakan, “Pendapat yang mengatakan wajibnya berwudhu karena sekedar menyentuh perempuan adalah pendapat Syafii dan para ulama mazhab Syafii, Malik dan pendapat yang terkenal dari Ahmad bin Hanbal” (Tafsir al Qur’an al Azhim 1/669, terbitan Dar Salam).
Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Hazm. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga berpendapat dengan pendapat ini.

Pendapat kedua, bersentuhan dengan perempuan tidaklah membatalkan wudhu sama sekali. Inilah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan sebelumnya merupakan pendapat Ibnu Abbas, Thawus, al Hasan al Bashri dan Atha’. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu jika diiringi syahwat dan tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua mengingat dalil-dalil sebagai berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ ».
Dari Abu Hurairah, dari Aisyah, aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidurku lalu kucari-cari. Akhirnya tanganku memegang bagian dalam telapak kaki Nabi. Ketika itu Nabi di masjid dan kedua telapak kakinya dalam posisi tegak. Saat itu Nabi sedang mengucapkan doa, ‘Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari murkaMu dan dengan maafMu dari hukumanMu. Aku berlindung dengan diriMu dari siksaMu. Aku tidak mampu memujimu sebagaimana pujianMu untuk diriMu sendiri’ (HR Muslim no 222).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ وَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا – قَالَتْ – وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ.
Dari Aisyah, Aku tidur melintang di hadapan Rasulullah yang sedang shalat. Kedua kakiku terletak di arah kiblat. Jika beliau hendak bersujud beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri kembali kuluruskan kakiku. Aisyah bercerita bahwa pada waktu itu tidak ada lampu di rumah (HR Bukhari no 375 dan Muslim no 272).
Kedua hadits di atas menunjukan bahwa sentuhan antara laki-laki dan perempuan tidaklah membatalkan wudhu. Seandainya wudhu batal tentu shalat yang Nabi lakukan juga batal.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi itu sering mencium salah seorang istri kemudian beliau langsung shalat tanpa mengulang wudhu (HR Nasai no 170 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Hadits ini menunjukkan bahwa sentuhan bersyahwat itu tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana kita ketahui bahwa mencium istri itu identik dengan syahwat.
sumber :
 http://ustadzaris.com/bersentuhan-kulit-antara-suami-istri-apakah-membatalkan-wudhu

Do'a


Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu seperti ilmunya orang-orang yang takut kepada-Mu, rasa takut seperti rasa takutnya orang-orang yang mengenal-Mu, keyakinan seperti keyakinannya orang-orang yang bertawakkal kepada-Mu, kepasrahan seperti kepasrahannya orang-orang yang beriman kepada-Mu, taubat seperti taubatnya orang-orang yang tunduk kepada-Mu dan ketundukan seperti ketundukan orang-orang yang bertaubat kepada-Mu, syukur seperti syukurnya orang-orang yang bersabar karena-Mu, kesabaran seperti kesabaran orang-orang yang bersyukur kepada-Mu dan keselamatan seperti keselamatannya (orang-orang yang gugur membela agama-Mu) yang hidup dan mendapatkan rizki di sisi-Mu (di surga).
(Thalq bin Habib)

02 April 2011

Bahaya Sikap Menunda-nunda



"Iya nanti sajalah”, demikian yang dikatakan dalam rangka menunda-nunda pekerjaaan atau amalan padahal masih bisa dilakukan saat itu. Kebiasaan kita adalah demikian, karena rasa malas, menunda-nunda untuk belajar, menunda-nunda untuk muroja’ah (mengulang) hafalan qur’an, atau melakukan hal yang manfaat lainnya, padahal itu semua masih amat mungkin dilakukan.
Perlu diketahui saudaraku, perkataan “sawfa ... sawfa”, “nanti sajalah” dalam rangka menunda-nunda kebaikan, ini adalah bagian dari “tentara-tentara iblis”. Demikian kata sebagian ulama salaf.
Menunda-nunda kebaikan dan sekedar berangan-angan tanpa realisasi, kata Ibnul Qayyim bahwa itu adalah dasar dari kekayaan orang-orang yang bangkrut.
إن المنى رأس أموال المفاليس
“Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi) itu adalah dasar dari harta orang-orang yang bangkrut.”[1]
Dalam sya’ir Arab juga disebutkan,
وَ لاَ تَرْجِ عَمَلَ اليَوْمِ إِلَى الغَدِ          لَعَلَّ غَدًا يَأْتِي وَ أَنْتَ فَقِيْدُ
Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini hingga besok
Seandainya besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan
Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia berkata, “Hati-hatilah dengan sikap menunda-nunda (nanti dan nanti).”
Al Hasan Al Bashri berkata, “Hati-hati dengan sikap menunda-nunda. Engkau sekarang berada di hari ini dan bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari tersebut dan sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tidak menghampirimu, maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.”[2]
Itulah yang dilakukan oleh kita selaku penuntut ilmu. Besok sajalah baru hafal matan kitab tersebut. Besok sajalah baru mengulang hafalan qur’an. Besok sajalah baru menulis bahasan fiqih tersebut. Besok sajalah baru melaksanakan shalat sunnah itu, masih ada waktu. Yang dikatakan adalah besok dan besok, nanti dan nanti sajalah.
Jika memang ada kesibukan lain dan itu juga kebaikan, maka sungguh hari-harinya sibuk dengan kebaikan. Tidak masalah jika ia menset waktu dan membuat urutan manakah yang prioritas yang ia lakukan karena ia bisa menilai manakah yang lebih urgent. Namun bagaimanakah jika masih banyak waktu, benar-benar ada waktu senggang dan luang untuk menghadiri majelis ilmu, muroja’ah, menulis hal manfaat, melaksanakan ibadah lantas ia menundanya. Ini jelas adalah sikap menunda-nunda waktu yang kata Ibnul Qayyim termasuk harta dari orang-orang yang bangkrut. Yang ia raih adalah kerugian dan kerugian.
Lihatlah bagaimana kesibukan ulama silam akan waktu mereka. Sempat-sempatnya mereka masih sibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah.
Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’  Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”[3] Subhanallah … Lisan selalu terjaga dengan hal manfaat dari waktu ke waktu.
Ingatlah nasehat Imam Asy Syafi’i –di mana beliau mendapat nasehat ini dari seorang sufi-[4], “Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. (Di antaranya), dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”[5]
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.”[6]
Semoga Allah memudahkan kita untuk memanfaatkan waktu kita dengan hal yang bermanfaat dan menjauhkan kita dari sikap menunda-nunda.
Wabillahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Riyadh-KSA, 26 Rabi’uts Tsani 1432 H (31/03/2011)
www.rumaysho.com

[1] Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 1/456, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat pula Ar Ruuh, Ibnul Qayyim, 247, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah; Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/325, Muassasah Ar Risalah; ‘Iddatush Shobirin, Ibnul Qayyim, 46, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[2] Dinukil dari Ma’alim fii Thoriq Tholabil ‘Ilmi, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah As Sadhaan, 30, Darul Qobis
[3] Az Zuhud li Ahmad bin Hambal, 3/321, Asy Syamilah
[4] Ini menunjukkan bahwa tidak masalah mendapat nasehat dari orang yang berpahaman menyimpang (semacam sufi) selama si penyimak tahu bahwa hal itu benar.
[5] Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[6] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi

03 Maret 2011

Melihat Ketekunan Belajar Para Ulama Salaf



Para Ulama salaf mencari ilmu syar’I dengan semangat dan bersungguh-sungguh, tekun belajar dan memberikan seluruh waktunya untuk menulis, menghafal, dan mengarang. Hingga akhirnya, ilmu syar’I menjadi kenikmatan dan surga pun mereka rasakan.
Ibnu Uqail menceritakan ketekunannya dalam membaca dan meraih ilmu. Beliau berkata, “Sesungguhnya tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sedikit dari waktuku tanpa faedah, hingga bila lisanku berhenti dari belajar menghafal dan berdiskusi, mata aku berhenti dari membaca buku, maka aku menggunakan pikiranku ketika istirahat. Aku tidaklah bangun kecuali sudah terlintas dalam benakku apa yang akan aku tulis. Aku merasakan semangat belajar ilmu ketika berusia delapan puluh tahun melebihi semangat yang aku rasakan ketika berusia dua puluh tahun.”

Imam Nawawi pada awal belajarnya, setiap hari membaca dua belas buku pelajaran kepada para gurunya lengkap dengan penjelasan dan koreksiaannya. An-Nawawi berkata, “Aku mengomentari semua yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan kitab yang sulit, atau kalimat-kalimat dan tata bahasa yang sulit. Allah memberikan barakah pada waktuku dan kesibukkanku, serta membantuku.”

Imam Nawawi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya, baik di waktu malam atau siang, dan hanya menyibukkan dirinya dengan ilmu. Bahkan ketika beliau berjalan, beliau terus mengulang-ulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya sambil berjalan. Beliau makan hanya sekali dalam sehari semalam, yaitu setelah isya’ di waktu akhir dan beliau minum hanya sekali di waktu sahur.

Sebagian diantara mereka, karena giatnya memanfaatkan waktunya, bahkan tidak meninggalkan menuntut ilmu ketika di dalam kamar kecil (WC) sekalipun. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Imam Majduddin bin Taimiyah, apabila beliau masuk WC untuk membuang hajat, beliau berkata kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, ‘Bacalah kitab ini dan angkatlah suaramu!’ “ Ibnu Rajab berkata, “Hal itu menunjukkan kuatnya semangat dalam belajar ilmu dan meraihnya serta dalam menjaga waktunya.”
Sebagian ulama salaf, karena bagitu semangatnya dalam belajar, mereka tetap belajar ketika mereka makan. Ibrahim bin Isa Al-Muradi berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih rajin dalam menuntut ilmu melebihi Al-Hafidz Abdul Azhim Al-Mundziri. Saya bertetangga dengannya ketika di madrasah di Kairo selama dua belas tahun, dan rumah saya berada di atas rumahnya. Saya tidak pernah bangun di waktu malam, kecuali saya mendapatkan lampu dirumahnya menyala. Beliau menyibukkan diri dengan belajar dan menulis. Sampai ketika beliau makan dan minum, kitabnya selalu berada didepannya, beliau membaca dan menelaahnya.”
Begitulah keadaan orang-orang shalih, para ulama yang jujur. Para ulama salaf sangat menghargai waktu mereka dan tidak meremehkannya walau hanya sebentar. 
Sumber:
102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah: Elba.
http://belajarislam.com/panduan-ilmu/153-melihat-ketekunan-belajar-para-ulama-salaf

13 Januari 2011

Barometer Akhlak Mulia


Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, MA
Alhamdulillahi wahdah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah…
Hasil gambar untuk akhlak
Prolog
Masya Allah, akhlak pak anu bagus banget lho!” kata seorang bapak-bapak ‘mempromosikan’ rekan kerjanya.
” Buktinya apa pak?” tanya lawan bicaranya.
“Kalau di kantor ia ramah banget, apalagi kalo sedang berhadapan dengan bosnya!” jawabnya.
Wuih, bu anu akhlaknya baik banget!” komentar seorang ibu-ibu tatkala membicarakan salah satu tetangganya.
“Darimana ibu tau?” tanya temannya.
“Itu lho jeng, kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!” sahutnya.
Begitulah kira-kira cara kebanyakan kita menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang. Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli. Sebab sangat memungkinkan sekali seseorang itu memiliki dua akhlak yang diterapkannya pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak demikian di tempat yang lain. Itu tergantung kepentingannya.
Lantas, bagaimanakah Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang itu? Tulisan berikut berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut.


Islam Agama Akhlak
Di antara tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam, selain untuk menegakkan Tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dengan gamblang dalam sabda beliau,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. [HR. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Sedemikian besar perhatiannya terhadap perealisasian akhlak, Islam tidak hanya menjelaskan hal ini secara global, namun juga menerangkannya secara terperinci. Bagaimanakah akhlak seorang muslim kepada Rabbnya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun!
Di antara hal yang tidak terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan kata lain: sisi apakah yang bisa dijadikan jaminan bahwa seseorang itu akan berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak mulia pada sisi yang satu itu?

Barometer Akhlak Mulia
Panutan kita Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan permasalahan di atas dalam sabdanya,
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku”. [HR. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan al-Albani menilai hadits tersebut sahih].
Hadits di atas terdiri dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua, tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut.
Dalam kaitan dengan hal di atas, penulis berusaha sedikit mengupas dua bagian tersebut di atas semampunya:

Pertama: Mengapa berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak, dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?

Sekurang-kurangnya, wallahua’lam, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut[1]:
Hasil gambar untuk santuna. Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara dengan berakhlak mulia di tempat kerjanya –yang itu hanya memakan waktu beberapa jam saja- belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya di rumahnya sendiri. Dikarenakan faktor panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk ‘bersandiwara’. Justru yang terjadi, saat-saat itulah terlihat akhlak aslinya.
Ketika bersandiwara, bisa saja dia membuat mukanya manis, tutur katanya lembut dan suaranya halus. Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan akhlak palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.
Kebalikannya, seseorang yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan mempraktekkannya di manapun berada.


b. Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat; karena menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya sedikit-banyaknya berimbas pula pada sikapnya di dua alam yang berbeda itu.
Ketika di kantor, ia musti menjaga ‘rapor’nya di mata atasan. Hal mana yang membuatnya harus berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk itu ia harus memoles akhlaknya untuk sementara waktu. Itu tidaklah masalah. Yang penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut melonjak.
Adapun di rumah, di saat posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.

Demikianlah itulah kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu bagaimanakah halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus berusaha merealisasikannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha melihat dan Maha mengetahui.

Kedua: Beberapa potret kemuliaan akhlak Nabi shallallahu’alaiwasallam terhadap keluarganya.

Sebagai teladan umat, amatlah wajar jika praktek keseharian Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa contoh saja. Hal itu hanya sekadar untuk memberikan gambaran akan permasalahan ini.

A. Turut membantu urusan ‘belakang’.
Secara hukum asal, urusan dapur dan tetek bengeknya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Dan ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki.
عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember”. [HR. Ibnu Hibban].
Subhanallah! Di tengah kesibukannya yang luar biasa padat mengurusi umat, beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah oleh banyak suami di zaman ini! Andaikan saja para suami-suami itu mau mempraktekkan hal-hal tersebut, insyaAllah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.

B. Berpenampilan prima di hadapan istri dan keluarga.
Berikut Aisyah, salah seorang istri Rasul shallallahu’alahiwasallam menyampaikan pengamatannya;
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ”
“Adalah Nabi shallallahu’alahiwasallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak”. [HR. Muslim].
Bersiwak ketika pertama kali masuk rumah??! Suatu hal yang mungkin tidak pernah terbetik di benak kita. Tetapi, begitulah cara Nabi kita shallallahu’alahiwasallam menjaga penampilannya di hadapan istri dan putra beliau. Ini hanya salah satunya lho! Dan beginilah salah satu potret kemuliaan akhlak Rasulullah kepada keluarganya.

C. Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”
“Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri”. [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albani].
Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, justru sangatlah berbahaya. Agar mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya.

Epilog
Semoga tulisan sederhana ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri –terutama bagi mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: da’i, guru, ustadz dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian, berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi Qudwah luar maupun dalam. Wallahu a’la wa a’lam.


Kedungwuluh Purbalingga, 7 Rabi’ul Awal 1431
[1] Disarikan dari kitab al-Mau’izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79).
Artikel: serambimadinah.com
copas dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/01/10/barometer-akhlak-mulia-ustadz-abdullah-zaen-ma/#more-5769

Wanita Bisu, Tuli, Buta dan Lumpuh Itu Adalah Ibunda Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan haus yang mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.
Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, “Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya”.
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”.
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orangtua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka.”
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?” Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !”
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”. Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka.

Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum?.”
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.


Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya?Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.

Artikel: abuthalhah.wordpress.com dipublikasi ulang oleh moslemsunnah.wordpress.com

copas dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/12/22/wanita-bisu-tuli-buta-dan-lumpuh-itu-adalah-ibunda-al-imam-abu-hanifah-an-nu%E2%80%99man-bin-tsabit/

06 Januari 2011

Dampak Dosa Pada Jiwa Raga


Setiap orang tentu tak luput dari melakukan dosa dan kesalahan. Yang membedakan, di antara manusia ada yang terus menerus melakukan dosa tanpa mau bertobat, sementara sebagian yang lain segera menyadari kesalahannya dan bertobat kepada Allah –ta’ala–.
Sesungguhnya, dosa baik besar maupun kecil, bila dilakukan secara terus menerus, akan berdampak sangat buruk bagi jiwa dan raga pelakunya. Tak jarang dosa itu juga menimbulkan bencana yang juga mengenai orang-orang di sekitarnya.
IBARAT RACUN DALAM TUBUH
Di antara bencana yang banyak menimpa kaum muslimin pada zaman ini adalah kemaksiatan dan dosa merajalela, serta menyebarnya kemungkaran dengan berbagai tingkatannya.
Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata, “Kemaksiatan ini memiliki bahaya yang sangat besar bagi hati, sama seperti bahaya racun-racun terhadap tubuh, dalam tingkat bahaya yang berbeda-beda. Dan tidaklah di dunia ini muncul suatu kejahatan dan penyakit, kecuali disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa.”
Begitulah dampak dosa bagi pelakunya. Orang yang sekali melakukan dosa dia enggan bertobat, maka ia akan tergoda untuk melakukan yang kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Lalu dosa-dosanya itu akan semakin bertumpuk-tumpuk sehingga mengalahkan amal baiknya. Ibarat racun dalam tubuh, dosanya akan menggerogoti kesehatannya dari ke hari, sehingga tubuhnya kian lemah dan penuh penyakit.
Contoh konkrit kalau dosa itu bisa menimbulkan penyakit, adalah AIDS. Penyakit ini begitu cepat menular karena kemaksiatan (khususnya free seks dan homoseks) telah banyak dilakukan di mana-mana.
Dosa dan kemaksiatan juga bisa menimbulkan rasa was-was, jantung berdebar, darah tinggi serta stress bagi pelakunya.
Di dunia ini, banyak para pendosa yang mengaku atau terkenal sebagai orang hebat, namun sejatinya jiwanya merasa kering dan tertekan. Ia merasa terasing dari Rabb-nya. Meskipun memiliki semua fasilitas kenikmatan dunia, keterasingan itu akan tetap ia rasakan.
Sebagai contoh, lihatlah Hittler. Pemimpin Jerman yang perfeksionis dan kejam ini memilih mati dengan cara bunuh diri.


MENGHITAMKAN WAJAH DAN MENUTUP HATI

Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu memancarkan cahaya pada wajah seseorang, dan cahaya di dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada badan, kecintaan di tengah makhluk. Dan keburukan akan mengakibatkan kehitaman pada wajah, kegelapan dalam hati, kelemahan badan dan kekurangan rezeki, serta kebencian di dalam hati para makhluk Allah.”
Perkataan Ibnu Abbas ini dipertegas oleh firman Allah –ta’ala–,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia,’Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’” (Thaha: 124-126)
Contoh dosa yang bisa menghitamkan wajah adalah meninggalkan shalat. Sebaliknya, rajin membasuh wajah dengan air wudhu serta melaksanakan shalat wajib maupun sunnah, bisa membuat wajah cerah dan berseri-seri. Ini terjadi karena ketaatan kepada Allah itu cahaya, sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan itu, semakin bertambah bingung orang yang meninggalkan shalat itu, hingga dia terjatuh dalam kesesatan-kesesatan tanpa dia sadari.
Seperti orang buta yang keluar sendirian di kegelapan malam. Kegelapan itu akan bertambah kuat hingga tampak pada mata, lalu meluas meliputi wajah sehingga wajah itu berubah hitam dan dapat dilihat oleh siapa saja. Pada saat itulah timbul jarak antara dia dan manusia, terutama orang-orang saleh.Semakin besar jarak itu, semakin jauh dia dari mereka, dan dia pun tidak bisa mendapatkan berkah kemanfaatan dari mereka. Lalu dia menjadi dekat dengan para tentara setan seiring dengan jauhnya dia dari tentara Allah yang Maha Penyayang.
Dan kondisi itu berakhir hingga di akhirat, saat dia akan merasakan balasan yang buruk, dan berkumpul dengan orang-orang yang celaka, yaitu pada hari mereka diajukan ke hadapan Allah yang Maha Perkasa.
“Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi.” (al-Mujaadilah: 19)

PENYEBAB BENCANA

Sesungguhnya dosa-dosa dan kemaksiatan itu akan mendatangkan kesengsaraan di dunia dan akhirat.
Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata, “Sebab apakah yang mengeluarkan bapak manusia dari surga, tempat kelezatan, kenikmatan, kemegahan dan kesenangan, menuju alam yang penuh penyakit, kesedihan dan musibah?
Apakah yang mengeluarkan Iblis dari alam langit, diusir dan dilaknat, rahmat berubah menjadi laknat, serta keimanan berubah menjadi kekafiran? Lalu sebab apakah yang menenggelamkan seluruh penghuni bumi sehingga air melampaui puncak gunung-gunung? Dan sebab apakah yang menjadikan angin menguasai kaum ‘Ad sehingga mereka bergelimpangan mati di permukaan bumi, lalu mereka seperti pohon kurma yang tumbang? Sebab apakah yang menyebabkan terjadinya siksa yang menyebabkan hati-hati mereka terputus dari tenggorokan-tenggorokan mereka, sehingga hati dan tenggorokan mereka berserakan dan mereka tewas?
Sebab apakah yang menyebabkan Fir’aun tenggelam bersama kaumnya lalu ruh-ruh mereka kembali berpindah ke neraka Jahannam? Tubuh mereka tenggelam, sementara ruh-ruh mereka terbakar. Sebab apakah yang mengubur Qarun dan rumahnya beserta seluruh hartanya? Sungguh, semuanya disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa!”
Realita saat ini, di mana-mana banyak terjadi bencana. Jika kita mau berkaca, niscaya kita pun akan menyadari, datangnya bencana-bencana itu akibat perilaku sebagian besar manusia yang melenceng jauh dari jalan lurus. Bahkan seringkali maksiat sudah dilakukan secara terang-terangan, tanpa rasa malu lagi.
Allah –ta’ala– berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)
Sementara Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara? Kalau aku (Rasulullah Saw), aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya. (1) Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. (2) Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. (3) Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan dan kezhaliman penguasa. (4) Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yang bukan dari Allah maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. (5) Jika mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan sunah Nabi maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Untuk menyelamatkan diri dari adzab Allah –ta’ala–, tiada jalan lain bagi kita kecuali dengan bertobat dari dosa-dosa yang kita lakukan. Allah –ta’ala– sangat menyukai hamba-Nya yang bertobat setelah melakukan kesalahan.

Dari Anas bin Malik –rodhiyallohu ‘anhu–, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda bahwa Allah –ta’ala– berfirman,
“Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (Riwayat Tirmidzi, ia berkata, ”Hadits ini hasan shahih.”)
Kiranya hadits ini bisa memotivasi kita untuk bersegera memperoleh ampunan dan rahmat-Nya. Wallaahu a’lam. (***)
Banyak diilhami dari kitab al Jawaabul Kaafi li Man Sa ala ‘An ad-Dawa’ asy Syafi’ Ibnul Qayyim –rohimahulloh–.
Artikel: Majalahsakinah.com publikasi ulang Moslemsunnah.Wordpress.com

http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/01/02/dampak-dosa-pada-jiwa-raga/