29 Oktober 2010

Warna Jilbab Muslimah


Pertanyaan :

Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :

1. Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?

2. Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?

Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron


Jawab :

Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.


Pertanyaannya :

Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna 'abaa'ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari'atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.

Jawaban beliau –hafidzohulloh- :

Segala puji bagi Allah Robbul 'aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.

Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :


Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya" (QS An-Nuur : 31)
...


Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.

Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :

Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu 'anhaa- ia berkata

:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »

Tatkala turun firman Allah (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak" (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah hal 82)

Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.

Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata


« أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »

Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, "Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?". Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, "Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !", maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, "Bajumu sudah usang, gantilah bajumu". Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)


Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa'ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها.. "Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya…." (HR Al-Bukhari no 5487)

Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhu, ia berkata :


رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu'ashfar. Maka Nabi berkata, "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?". Aku berkata, "Aku cuci kedua baju ini?", Nabi berkata, "Bahkan bakarlah kedua baju itu" (HR Muslim no 5436)


Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu'ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?" : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka" (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : "Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…"

Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,

هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »

“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).

Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam


الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم

"Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih" (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hal 82)


Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhumaa ia berkata

وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا

Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning" (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga" (HR Abu Dawud no 4064)

Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.

Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama'ah-jama'ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama'ah-jama'ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid'ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta'dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.

(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992)


Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?

Beliau –rahimahullah- menjawab :

"Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang" (Fatwa Nuur "alaa Ad-Darb)


Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 03 Dzul Qo'dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Penyakit Lupa dalam Menuntut Ilmu


Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya, “Saya seorang yang mempunyai keinginan untuk menuntut ilmu dan ingin memberi manfaat kepada orang lain. Akan tetapi problem yang dihadapi adalah selalu lupa dan tidak teringat sedikitpun dalam pikiran saya akan ilmu yang saya dengar. Apakah nasehat Syaikh kepada saya ? Semoga subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan antum ya Syaikh.

Jawaban
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, manusia berbeda-beda dalam menuntut ilmu, tidak setiap penuntut ilmu menghafal ilmu yang telah ia dengarkan. Akan tetapi (ia tentu) hafal sedikit dari ilmu yang ia dengar. Ilmu itu diperoleh sedikit demi sedikit. Jika terus menerus diulang maka akan hafal. Saya menasehati agar berusaha dan bersungguh-sungguh menghafal Al-Qur’an. Karena menghafal itu adalah suatu tabiat, dengan menghafal dan mengulang-ulangi, maka hafalan akan terus bertambah dan akan semakin kuat.

Barangsiapa bersungguh-sungguh ia akan dapati bahwa dengan menghafal Al-Qur’an akan memulai jalan untuk membuka “daya hafalannya”. Jika penanya belum hafal Al-Qur’an, hendaklah menghafal Al-Qur’an. Oleh karena itu sejumlah ulama pada masa lalu tatkala seorang penuntut ilmu masuk ke masjid ingin berguru dan menuntut ilmu kepada para syaikh setiap hari, sedangkan ia belum hafal Al-Qur’an, maka para syaikh tersebut berkata kepadanya,”Hafalkan Al-Qur’an terlebih dahulu! Setelah hafal kembalilah kepada kami! (yang demikian itu) karena menghafal Al-Qur’an akan membukakan “kekuatan untuk mengingat”.

Oleh karena seseorang yang telah mencoba menghafal Al-Qur’an, misalnya ia menghafal 10 juz, butuh waktu 8 jam untuk menghafalkannya. Ia pun harus mengulangnya kala itu. Akan tetapi setelah pada 20 juz yang terakhir, akan mudah dan mudah (sekali), hingga barangkali ia hafal 3/8 dari ½ juz dalam waktu antara maghrib dan isya atau sesudah subuh. Ini adalah suatu kenyataan, karena daya ingat akan terus bertambah jika selalu dilatih dan dipraktekkan. Oleh karena itu saya menasehatinya agar menghafal Al-Qur’an dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, karena ilmu akan bertambah dengan izin Allah Jalla Jalaluhu dan hafalan akan datang insya Allah.

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo'dah 1423/Januari 2003. Diterbitkan : Ma'had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya]

***

Artikel muslimah.or.id

28 Oktober 2010

Meninggalkan Televisi bukanlah Sikap Ekstrim, tapi Bentuk Penjagaan terhadap Keluarga


by Ummu 'Ammar Diyah on Thursday, October 21, 2010 at 8:28am
Oleh: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Soal:
Sebagian orang yang dikenal kebaikannya memasukkan televisi ke dalam rumahnya dan berkata bahwa dia tidak ingin dituduh sebagai orang yang ekstrim/terlalu mengekang. Apa naseha
tmu wahai fadhilatus Syaikh?


Jawab:
Meninggalkan televisi bukanlah sikap yang ekstrim. Hanya saja ini sikap menjaga agama, keluarga dan anak-anak. Ini adalah bentuk menjauhi diri dari sebab-sebab kemudaratan.

Karena hadirnya televisi di rumah menyebabkan kemudaratan bagi anak-anak, para wanita, bahkan kepada kepala keluarga itu sendiri.

Siapa yang merasa aman dari fitnah (ujian/bahaya yang mengancam dunia dan akhirat seseorang-pent)?

Semakin selamat seseorang dari sebab-sebab fitnah, maka ini lebih baik baginya sekarang atau di masa depan. Dan tidaklah meninggalkan televisi merupakan bentuk sikap ekstrim/terlalu mengekang. Ini adalah bentuk penjagaan.

(Diterjemahkan dari Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, soal nomor: 127. Sumber: www.anakmuslim.wordpress.com)

26 Oktober 2010

Keadaan Wanita Di Surga


Wanita Di Surga
Sesungguhnya segala kenikmatan surga tidaklah dikhususkan untuk laki-laki saja sehingga wanita tidak mendapatkannya akan tetapi surga adalah untuk orang-orang bertaqwa, Allah عز و جل berfirman :
أُعِدَّتْ لِلْمُــتــَّقِيـْنَ آل عمران : 133
“(Surga) disediakan untuk orang-0rang yang bertaqwa” (QS 'Ali Imraan : 133)
Namun Allah telah menjadikan laki-laki terpikat dan merindukan syurga karena mengingat bidadari-bidadari dan wanita-wanita di surga, dan yang seperti itu tidak disebutkan untuk wanita. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :

1. Umumnya wanita mempunyai rasa malu dan karena inilah Allah عز و جل tidak menjadikan mereka terpikat dengan apa yang mereka malu kepadanya.
2. Kerinduan seorang wanita akan lelaki tidaklah seperti kerinduan seorang laki-laki kepada wanita -sebagaimana sudah diketahui-, karenanya Allah عز و جل pun menjadikan lelaki merindukannya, sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :
 مَا تـَرَكْتُ بـَعْدِيْ فِتــْنـَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النــِّسَاءِ  رواه البخاري و مسلم
”Tidaklah ada fitnah yang aku tinggalkan sesudahku yang lebih berbahaya
dari pada wanita bagi lelaki” (HSR. Bukhari dan Muslim)
Adapun wanita, mereka pun dijadikan oleh Allah عز و جل merindukan aneka perhiasan dari jenis-jenis pakaian bagus dan permata melebihi kerinduan lelaki akan hal itu. Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullahu- berkata :“Sesungguhnya Allah عز و جل menyebutkan istri untuk suami karena suamilah yang mencari mereka dan merekalah yang menginginkan wanita sehingga disebutkanlah istri-istri untuk lelaki di surga dan tidak menyebut sebaliknya. Dan ini bukanlah berarti bahwa wanita di surga tidak akan mempunyai suami. Akan tetapi mereka kelak akan mempunyai suami dari jenis manusia juga” (Lihat Al-Majmu’ Ats Tsamin
(1/175))

Keadaan-keadaan Wanita di Dunia


1. Mereka meninggal sebelum sempat menikah atau mereka meninggal setelah diceraikan suaminya dan belum sempat menikah dengan yang lain.
Maka Allah akan menikahkan mereka di surga dengan seorang lelaki dari penduduk dunia, berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :
 مَا فِي الْجَنــَّةِ مِنْ أَعْزَبٍ  رواه مسلم
”Di surga tidak ada orang yang membujang (tidak mempunyai pasangan)” (HSR. Muslim)
Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullahu- berkata: “Apabila seseorang belum menikah -yakni seorang wanita- di dunia ini maka sesungguhnya Allah عز و جل akan menikahkannya dengan siapa yang ia tertarik dengannya di surga”
2. Mereka sudah menikah akan tetapi suaminya tidak bersamanya di surga –semoga Allah melindungi kita dari hal ini-
Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullahu- berkata: ”Seorang wanita apabila termasuk ahli surga..…sedang suaminya tidak termasuk ahli surga maka sesungguhnya bila ia masuk surga maka disana ada lelaki ahli surga yang akan memperisterikannya“ maksudnya akan menikah dengan salah seorang dari mereka.
3. Wanita yang meninggal setelah sempat menikah, maka saat di surga ia untuk suaminya yang dahulu
4. Wanita yang suaminya meninggal kemudian ia tetap tidak menikah setelah kematian suaminya hingga ia pun meninggal, maka dia tetap menjadi isterinya di surga.
5. Wanita yang suaminya meninggal dan kemudian menikah dengan yang lainnya, maka dia untuk suami yang paling terakhir walaupun sempat menikah berkali-kali, berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :
 اَلْمَرْ أَ ةُ ِلآخِرِ أَزْ وَاجــِهَا  رواه أبو علي الحراني القشيري و أبو الشيخ و البغوي
“Wanita itu adalah untuk suami terakhirnya”. (HSR. Abu ‘Ali Al-Haraani Al-Qusyairi, Abu Syaikh dan Al-Baghawy)
Dan berdasarkan perkataan Hudzaifah رضي الله عنه kepada isterinya : “Jika engkau tetap ingin menjadi isteriku di surga maka janganlah menikah dengan siapapun sepeninggalku, sesungguhnya wanita saat di surga adalah untuk suami terakhirnya di dunia. Karena itulah Allah عز و جل pun mengharamkan isteri-isteri nabi untuk dinikahi oleh orang lain sepeninggal beliau صلى الله عليه و سلم, karena mereka itu kelak akan tetap menjadi isteri-isterinya di surga.

Wanita Adalah Penduduk Terbanyak di Neraka atau di Surga ?

Disebutkan dalam hadits shahih Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: إِنَّ أَقَلَّ سَاكِـنِي الْجَـنَّةِ النـــِّسَاءُ
رواه البخاري و مسلم
“Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit jumlahnya dari golongan wanita” (HSR. Bukhari dan Muslim)
Dan bersama itu tedapat pula hadits shahih yang lain bahwa bagi setiap laki-laki dari ahli dunia akan mempunyai dua isteri (di surga) Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda :
 وَلــِكُلِّ وَاحِدٍ مِنـْـهُمْ زَوْجَتـَانِ رواه البخاري و مسلم
“Dan setiap laki-laki dari mereka (ahli surga) mendapatkan dua orang istri” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada masalah diatas para ulama berbeda pendapat dalam menggabungkan hadits-hadits diatas yaitu apakah wanita merupakan kebanyakan penduduk surga atau penduduk neraka?
Berkata sebagian Ulama : Bahwasanya wanita adalah kebanyakan penduduk surga dan juga kebanyakan penduduk neraka karena memang jumlah mereka banyak, berkata Al Qadhi ‘Iyadh –rahimahullahu-: ”Wanita adalah anak cucu Adam yang terbanyak” (Lihat Tharh At Tatsriib (4/270))
Berkata sebahagian yang lain bahwasanya semula wanita adalah penduduk neraka terbanyak namun kemudian mereka menjadi penduduk surga terbanyak setelah –yang muslimatnya- keluar dari neraka.
Imam Al Qurthuby –rahimahullahu- berkata dalam penjelasannya pada hadits Nabi صلى الله عليه و سلم tentang para wanita :
إِنـــِّيْ رَ أَيــْتـُكُنَّ أَكْـثـَرَ أَهْلِ النـَّـارِ
رواه البخاري و مسلم
”Sesungguhnya aku melihat kalian sebagai penduduk neraka terbanyak”. (HR. Bukhari dan Muslim) ”Bahwasannya ini mungkin saat mereka menjadi penduduk neraka terbanyak. Akan tetapi setelah mereka selanjutnya keluar (dari neraka) karena syafa’at dan rahmat Allah عز و جل sehingga tidak ada yang tersisa di neraka
yang berkata “Laa Ilaha Illallahu” maka wanita pun kemudian menjadi yang
terbanyak di surga” (Lihat Haadii Al Arwah li Ibnil Qayyim (Hal. 144))
Kesimpulannya adalah hendaknya wanita berusaha untuk tidak menjadi
penduduk neraka.

Keadaan Wanita di Surga

1. Apabila wanita masuk ke dalam surga, maka Allah عز و جل akan mengembalikan usia mudanya dan kegadisannya ini berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم :
 ِإنَّ الْجَنــَّةَ لاَ يــَدْخُلُهـَا عَجُوْزٌ ……إِنَّ اللهَ تـَعَالَى إِذَا أَدْخَلَهُنَّ أَبــْكَارًا رواه أبو نعيم
”Sesungguhnya Surga tidaklah dimasuki oleh nenek tua……sesungguhnya Allah jika memasukkan mereka ke dalam surga (Dia عز و جل) mengembalikan mereka menjadi gadis-gadis” (HR. Abu Nu’aim)
Disebutkan dalam beberapa atsar bahwa wanita dunia saat berada di Surga akan jauh lebih cantik melebihi kecantikan bidadari-bidadari surga, ini karena kesungguhan mereka dalam beribadah kepada Allah عز و جل. (Lihat Tafsir Al-Qurthuby (16/154))
2. Ibnul Qayyim –rahimahullahu- berkata:
”Sesungguhnya setiap orang dilarang untuk mendekati selain pasangannya saat berada disana (surga).”

Demikianlah, saat ini surga tengah berhias untuk kalian wahai wanita ! Sebagaimana mereka juga tengah berhias untuk lelaki. Allah عز و جل berfirman :
فِيْ مَقْعـَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَـلــِـيـْكٍ مُقْتــَدِرٍ
“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa”. (QS. Al Qamar : 55)
Maka berhati-hatilah kalian dari menyia-nyiakan kesempatan itu. Sesungguhnya umur ini terbatas dan pasti akan berakhir dan tidak ada setelah itu kecuali kekekalan. Maka jadikanlah kekekalan kalian di dalam surga -Insya Allah-.
Ketahuilah! sesungguhnya maharnya surga adalah iman dan amal shaleh bukan angan-angan yang batil, yang tidak pernah terwujudkan. Rasulullah صلى الله عليه و سلم
bersabda :
 ِإذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَ صَامـَتْ شَهـْرَهَا وَ حَصَـنَتْ فَرْجَهَا وَ طَاعَتْ زَوْجَهَا, قِيـْلَ لـــَهَا : أُدْخُلِي الْجَنــَّةَ مِنْ أَيِّ بـَابٍ شِئــْتِ 
”Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa ramadhan, menjaga kesuciannya dan mentaati suaminya, dikatakanlah kepadanya : masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang anda inginkan”. (Shahihul Jaami’ lil Albaany (660))
Dan tinggalkanlah sejauh-jauhnya penyeru-penyeru fitnah dan penghinaan kaum wanita yang menginginkan kerusakan kalian dan ingin menanggalkan rasa malu dari kalian serta memalingkan kalian dari memperoleh kenikmatan surga.
Semoga Allah عز و جل memberikan taufik-Nya kepada wanita-wanita
kaum muslimin agar mendapatkan kenikmatan surga dan menjadikan mereka pemberi petunjuk yang senantiasa memperoleh hidayah dan menjauhkan dari mereka syaithan-syaithan manusia dan penyeru-penyerunya yang menginginkan kerusakan mereka.

Marja’ :
Ahwal An Nisaa’ fil Jannah, Sulaiman ibn Shaleh
Al Khuraasy
sumber : http://islammubarak.blogspot.com

Kekufuran Istri Berbuah Petaka



Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“. (Ar-Rum: 21)

Apatah lagi bila pendamping hidup itu seorang yang shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.

Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.

Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.

Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)

Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya.

Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.

Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):

أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ, لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ

“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)

Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.” Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?”. “Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ

Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)

Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila seorang istri melihat dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.

Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ

Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)

Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka. Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya:

أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)

Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372)
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=154

copas dari http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/

Dimana Letak Persamaan Antara JIN dan MANUSIA ?


Ditulis oleh Syaikh Abu Nashr Muhammad Al-Imam
Minggu, 03 Oktober 2010 14:37

DIMANA LETAK PERSAMAAN ANTARA JIN DAN MANUSIA ?

Jawab :

Persamaan antara jin dan manusia itu banyak dan saya akan menyebutkan beberapa diantaranya:

1. Yang menciptakan, menguasai dan mengurusi mereka semua adalah Allah Subhaanahu wata’aala,.

2. Mereka semua diciptakan untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wata’aala, saja. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."

(QS. Adz Dzariyat : 56).



Maka tidak ada perbedaan secara umum antara beban yang diberikan pada jin dan manusia dalam hal beribadah kepada Allah Subhaanahu wata’aala.

3. Mereka setara dalam hal apa yang telah menjadi ketetapan takdir dari Allah Subhaanahu wata’aala, kepada mereka dalam masalah kematian dan sebab-sebabnya. Mereka juga sama dalam hal tidak mengetahui kapan ajalnya dan tidak mengecualikan seorang pun dalam hal kematian kecuali Iblis. Sungguh Allah Subhaanahu wata’aala, telah memberikan tempo sampai pada batas waktu yang ditentukan.

4. Masing-masing jin dan manusia akan dibangkitkan untuk dihisab. Jin juga akan dikumpulkan pada hari kiamat di padang mahsyar dalam keadaan nampak.

Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:

سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَ الثَّقَلَانِ

"Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin."

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

"Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ

"Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan."

(QS. Ar Rahman :31-33).

5. Setiap jin dan manusia yang mukmin akan masuk surga dan yang kafir masuk neraka sebagaimana yang diketahui dari banyak dalil.

6. Jin dan manusia tidak mengetahui perkara ghaib. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman :

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ

"Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan." (QS. Saba : 14).

7. Asal penciptaan keduanya adalah dari air. Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. An Nur : 45).

Kami telah memaparkan permasalahan tersebut dalam kitab kami "Naqdhu An Nazhariyyaat Al Kauniyyah".

8. Jin memiliki status yang berbeda-beda seperti halnya manusia. Di antara mereka ada yang menjadi raja; ada yang kaya dan adapula yang miskin; ada yang kuat dan adapula yang lemah; ada yang pintar dan adapula yang bodoh; ada yang mulia dan ada pula yang hina; ada yang shaleh dan adapula yang buruk; ada yang menjadi penguasa dan adapula yang menjadi rakyat; ada yang menjadi ulama adapula yang bodoh; ada yang menjadi sastrawan atau ahli syair, da'i dan penuntut ilmu. Mereka juga berkelompok-kelompok, ada yang menjadi ahli bid'ah dan adapula yang sunni; ada yang yahudi dan adapula yang nashara atau majusi; ada yang Arab dan adapula yang bukan Arab.

Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

"Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda."

(QS. Al Jin : 11).

Yang dimaksud dengan "Ath Tharaa'iq" adalah berkelompok. Yang dimaksud dengan "Qidadaa" yaitu berbeda-beda.

9. Jin mampu untuk mengganggu manusia dengan berbagai macam gangguan dimulai dengan memberikan waswas, menjauhkan dari jalan Allah Subhaanahu wata’aala, menganggap baik perbuatan jelek dan bisa menguasai badan manusia. Sebagian mereka mampu menguasai manusia dengan memukul, membunuh, menahan, menculik dan merasuki serta yang lainnya. Manusia juga mampu menyakiti jin baik secara umum maupun khusus. Adapun menyakiti mereka secara umum dengan cara berlindung diri kepada Allah Subhaanahu wata’aala, dengan menjaga dzikir-dzikir yang disyariatkan serta istiqamah di atas manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun menyakiti mereka secara khusus seperti apa yang dialami oleh sebagian mereka berupa pemukulan atau membunuh sebagian jin baik dengan cara yang hak maupun batil.

10. Jin dan manusia diberikan oleh Al oleh Allah Subhaanahu wata’aala, kehendak untuk memilih, kekuatan dan kemampuan untuk menerima kebenaran atau menolaknya. Itu semua berada di bawah kehendak Allah Subhaanahu wata’aala, dan ketetapan-Nya dan setiap gerakan-gerakan mereka itu terjadi dengan izin-Nya.

11. Jin dan manusia yang shaleh di antara mereka ada yang terjatuh dalam perbuatan maksiat dan yang kafir di antara mereka tetap diharapkan untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu wata’aala,.

10. Kaum mukminin dari kalangan jin dan manusia mendapatkan karamah[1] dari Allah Subhaanahu wata’aala. Allah Subhaanahu wata’aala, memuliakan di antara mereka bagi siapa yang dikehendaki-Nya baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan.

Ini merupakan hal-hal terpenting tentang persamaan antara jin dan manusia. Namun jika dijelaskan secara lebih rinci beserta cabang-cabangnya, maka jumlahnya akan lebih banyak lagi dan hanya kepada Allahlah kita meminta pertolongan.



Sumber Kitab Terjemah : “HUKUM BERINTERAKSI DENGAN JIN”

Pustaka : Ats Tsabat.

[1] Karamah adalah suatu kejadian yang luar biasa yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki Allah Subhaanahu wata’aala, dari kalangan hamba-Nya dengan tujuan untuk menampakkan kebenaran agamanya. Sebagian para ulama menyebut istilah mukjizat bagi para nabi sedangkan karamah untuk para wali Allah yang bertaqwa kepada-Nya. (Pen).

SUMBER : http://salafybpp.com